tangi Rasulullah saw, seraya berkata: "Wahai Muhammad! Ikutlah agama kami, niscaya kami pun akan mengikuti agamamu. Sembahlah tuhan-tuhan kami selama setahun dan kami akan menyembah Tuhanmu dalam setahun". Rasulullah menjawab: "Aku berlindung kepada Allah dari perbuatan syirik. Mendengar jawaban ini, mereka tidak menyerah, bahkan meringankan penawaran dengan hanya meminta beliau mengakui keberadaan tuhan mereka: "Terimalah sebagian tuhan-tuhan kami, niscaya kami akan beriman kepadamu dan menyembah Tuhanmu". Lalu turunlah surat "al-Kafirun".
Keesokan
harinya, beliau pergi ke Masjidil Haram. Di sana para pemuka Quraisy
sedang berkumpul. Lalu Rasulullah menghampiri dan berdiri di
tengah-tengah mereka, lalu membacakan wahyu yang baru diterimanya.
Akhirnya kaum Quraisy pun berputus asa. Peristiwa ini disebut dalam
banyak kitab tafsir, seperti Tafsir imam Tabari (w. 310H), Ibnu Katsir
(w. 774H), al-Baghwi (w. 516H), al-Alusi (w. 1270H), dsb. Dan tidak ada
satu pun perbedaan yang kontradiktif di kalangan ulama tafsir dalam
menguraikan makna surat al-Kafirun.
Sikap
penolakan Rasulullah yang tidak "umum" terhadap tawaran kaum Quraisy
yang sekilas nampak "adil, netral, pluralis dan humanis" tentunya
bukanlah hal mudah dan ringan. Sebaliknya, ia menunjukkan suatu
keteguhan hati dalam mengemban Risalah Tuhan. Padahal jika saja Nabi
Muhammad menerima tawaran mereka, mereka akan memberikan seluruh harta
yang dimiliki dan menjadikan beliau orang terkaya di Makkah, serta
mempersilahkan beliau mengawini perempuan mana saja yang beliau maui.
Di
samping itu, mereka juga berjanji akan tunduk setia kepada aturan
Rasulullah asalkan beliau mau mengakui tuhan mereka dan tidak
mengusiknya. Mereka menyakinkan bahwa tawaran ini terdapat kebaikan
(maslahat), saling menguntungkan dan menyenangkan semua pihak. (lihat
tafsir Tabari dan Ma'alim Tanzil/al-Baghwi). Maka Allah pun menguatkan
hati beliau, "Katakanlah: "Maka apakah kepada selain Allah kamu menyuruhku menyembah, wahai orang-orang yang jahil?" (QS. 39:64)
Al-Qur'an
mengkategorikan pola pikir "arisan keyakinan" atau dalam istilah
akademisnya dikenal dengan kesatuan transenden agama-agama sebagai
tindakan orang jahil yang tidak berpengetahuan. Agama Islam yang
berlandaskan tauhid mempunyai karakteristik dan pandangan hidup sendiri
yang tidak bisa disamakan dengan agama-agama lain. Orang jahil bukan
hanya mereka yang kosong dari ilmu pengetahuan, tapi juga mereka yang
menyakini sesuatu yang keliru. Ibn al-Qayyim dalam kitabnya, "Tahzib
Madarij al-Salikin", menjelaskan bahwa kejahilan itu adalah memandang
baik sesuatu yang mestinya buruk atau menganggap sempurna sesuatu yang
mestinya kurang. Jika kejahilan ini dibiarkan terpelihara, maka ia akan
menghasilkan kezaliman. Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwa kezaliman itu
berarti meletakkan sesuatu secara tidak proporsional. Seperti marah pada
sesuatu yang seharusnya direlakan dan merelakan padahal semestinya
harus marah; bersabar dalam kebodohan; bakhil dalam kondisi lapang; dst.
Sedangkan
kezaliman terbesar adalah perbuatan syirik. Yakni sebuah sikap yang
menyakini adanya tuhan selain Allah, adanya kebenaran yang sama
mutlaknya dengan kebenaran agama Allah, adanya keyakinan bahwa semua
agama itu diibaratkan sebagai jalan yang sama-sama validnya menuju Tuhan
yang sama. Tradisi syirik seperti ini anehnya justru dijadikan tolak
ukur bertoleransi dan tren beragama masyarakat modern. Bahkan kajian
kritis terhadap suatu agama atau menyakini bahwa agama yang dianutnya
itu benar akan dipandang kaum pluralis sebagai tindakan yang tidak
toleran dan menyebarkan kebencian. (www.apologeticsindex.org/p14.html).
Sebuah koran nasional 3/11/2007 pun menurunkan sebuah ulasan bedah buku
yang bertema: "Sikap Tak Dukung Pluralisme Justru Ciptakan Teroris
Baru"
Sayangnya,
aplikasi kejahilan secara akademis justru digalakkan melalui artikel,
buku, seminar dan perkuliahan. Di antara sebagai berikut: (a) "Kita tidak dapat mengatakan bahwa (agama) yang satu lebih baik dari yang lain.” Lihat: Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan kaum Beriman.
(b) “Semua agama itu kembali kepada Allah. Islam, Hindu, Budha,
Nasrani, Yahudi, kembalinya kpd Allah". Selanjutnya ditegaskan: "Adalah
tugas dan wewenang Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan di antara
berbagai agama. Kita tidak boleh mengambil alih Tuhan untuk
menyelesaikan perbedaan agama dengan cara apa pun, termasuk dengan
fatwa.” Lihat: Islam dan Pluralisme. Meskipun penulis buku
tersebut melarang berfatwa tentang agama, namun dia sendiri sebenarnya
juga sedang berfatwa dalam menyamakan semua agama. Bahkan ketika dia
ditanya tentang siapa saja yang layak masuk surga, dia menjawab: "Saya
jadi tak peduli apakah dia Katolik, Kristen, atau Hindu. Kalau berakhlak mulia, beramal saleh, saya akan berikan segala kemuliaan kepadanya". (Wawancara 10/10/06, islamlib.com)
Pluralisme
agama sebenarnya adalah konsep yang dihasilkan dari kebijakan politik
dalam menengahi konflik agama maupun konflik yang mengatasnamakan agama
di Barat. Dengan konsep ini, para pemuka agama dipaksa membuktikan
dirinya bersih dari label-label "tidak toleran" dan "berpikiran sempit".
Sehingga mereka bisa diterima di dunia posmodern, di mana setiap
keyakinan harus didasarkan pada relativisme. Oleh karena itu, setiap
klaim kebenaran berdasar kitab suci, hukum dan moral yang sudah
kedaluwarsa harus dihindari.
(www.allaboutreligion.org/religious-pluralism.htm)
Di
Indonesia, paradigma lintas keyakinan dikembangkan kedalam Islam.
Akhirnya banyak akademisi yang latah menyatakan: "Karena itu,
berdasarkan hasil kajian dalam buku ini dari berbagai ayat al-Qur'an,
maka pada hakekatnya setiap agama bisa dikatakan al-Islam".
(Tafsir Inklusif Makna Islam). Di buku lain juga disebutkan: "Sampai di
sini, sejatinya pengertian Islam harus dipahami dalam makna generiknya,
yaitu sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini,
tidaklah terlalu tepat jika Islam dibatasi hanya untuk agama yang
dibawa oleh Nabi Muhammad saw." (Islam Mazhab HMI)
Islam
secara jelas membedakan antara mukmin dan kafir, tauhid dan syirik,
petunjuk dan kesesatan, serta melarang mencampuradukkan antara yang hak
dan yang batil. Pembedaan identitas ini tidak menghalangi umat Islam
untuk menjalin muamalah, bermain sepak bola bersama dan berbuat baik
kepada pemeluk agama lain. Bahkan Islam secara tegas melarang umatnya
mencaci maki keyakinan orang kafir (QS. 6:108). Prinsip tertinggi
bertoleransi sudah ditawarkan Islam di penghujung surat al-Kafirun: lakum dinukum waliya din”,
kalau itu kalian anggap sebagai “agama”, maka itu adalah urusan kalian,
tetapi kami mempunyai agama dan pandangan hidup sendiri. Lebih lanjut,
surat al-Kafirun merupakan perisai umat dari segala bentuk syirik dan
ibaratkan setara dengan seperempat al-Qur'an. Oleh karena itu,
Rasulullah mengajarkan kita untuk senantiasa membacanya sebelum beranjak
tidur, di samping bacaan yang lain. Ataukah kita masih mau mencari lagi
cara-cara bertoleransi untuk menandingi surat al-Kafirun?
- Akhlaq Tiang Da’wah (2)
- Kolonialisme dan Kudeta Kebudayaan
- Peneliti Perempuan Insists Terima Gelar Doktor ‘Cumlaude’
- Akhlaq Tiang Da’wah (1)
- Kesultanan Demak Pasca Keruntuhan Majapahit
- Soegija, Jawa Wurung, Landa Durung[1]
- “Bangkitnya Generasi Kristen Ekstrem”
- “Ibadah Haji Mematahkan Klaim Yahudi”
- Novel Kemi 2
- Haji Agus Salim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar