Posted by Admin pada 29/09/2009
Inilah Kehidupan Zaman Jahiliyah
Kehidupan
bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah berada dalam kekacauan yang
luar biasa. Mereka menyekutukan Allah, banyak berbuat maksiat, tidak
memiliki norma, percaya kepada khurafat, dan berbagai bentuk kebobrokan
moral lain.
Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam, yang merupakan Nabi dan Rasul
terakhir, diutus di saat tiadanya para Rasul. Vakumnya masa itu dari
para pembawa risalah dikarenakan Allah murka kepada penduduk bumi baik
orang Arab dan selainnya, kecuali sisa-sisa dari ahlul kitab (Yahudi dan
Nasrani) yang mereka telah meninggal. Dalam sebuah riwayat, Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :
Sesungguhnya Allah melihat kapada penduduk bumi. Lalu murka kepada mereka, Arab atau ajamnya, kecuali sisa-sisa dari ahlul kitab. (HR Muslim)
Saat
itu, memang hanya satu di antara dua orang ahlul kitab yang berpegang
dengan kitab yang sudah dirubah dan/atau dihapus, atau dengan agama yang
punah, baik bangsa Arab atau lainnya. Sebagiannya tidak diketahui dan
sebagian yang lain sudah ditinggalkan. Akibatnya, seorang yang umi
(tidak bisa baca tulis) hanya bisa bersemangat beribadah namun dengan
apa yang ia anggap baik dan disangka memberi manfaat baik berupa bintang, berhala, kubur, benda keramat, atau yang lainnya.
Manusia
saat itu benar-benar dalam kebodohan yang sangat akan ucapan-ucapan
yang mereka sangka baik padahal bukan, serta amalan yang disangka baik
padahal rusak. Paling mahirnya mereka adalah yang mendapat ilmu dari
warisan para Nabi terdahulu namun telah samar bagi mereka antara haq dan
batil. Atau yang sibuk dengan sedikit amalan meski kebanyakannnya
mengamalkan bid’ah yang dibuat-buat. Walhasil, kebatilannya
berlipat-lipat kali dari kebenarannya. (Iqtidha’ Sirathal Mustaqim
1/74-75)
Inilah
gambaran ringkas keadaan manusia yang sangat parah saat itu, khususnya
di kota Makkah dan sekitarnya. Keadaan tersebut mulai terlihat sejak
munculnya Amr bin Luhay Al-Khuza’iy. Ia dikenal sebagai orang yang gemar
ibadah dan beramal baik sehingga masyarakat waktu itu menempatkannya
sebagai seorang ulama.
Sampai
suatu saat, Amr pergi ke daerah Syam. Ketika mendapati para penduduknya
beribadah kepada berhala-berhala, Amr menganggapnya sebagai sesuatu
yang baik dan benar. Apalagi, Syam dikenal sebagai tempat turunnya
kitab-kitab Samawi (kitab-kitab dari langit).
Ketika
pulang, Amr membawa oleh-oleh berhala dari Syam yang bernama Hubal. Ia
kemudian meletakkannya di dalam Ka’bah dan menyeru penduduk Makkah untuk
menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah dengan beribadah kepadanya.
Disambutlah seruan itu oleh masyarakat Hijaz, Makkah, Madinah dan
sekitarnya karena disangka sebagai hal yang benar. (Mukhtasor Sirah
Rasul hal. 23 & 73).
Sejak
itulah, berhala tersebar di setiap kabilah. Di samping Hubal yang
menjadi berhala terbesar di Ka’bah dan sekitarnya dan juga menjadi
sanjungan orang-orang Makkah, terdapat pula berhala Manat di antara
Makkah dan Madinah. Manat merupakan sesembahan orang-orang Aus dan
Khazraj dan qabilah dari Madinah. Juga ada Latta di Thaif dan Uzza.
Ketiga berhala ini merupakan yang terbesar dari yang ada. (lihat
Mukhtasor Siroh Rasul 75-76 Rahiqul Makhtar :35).
Akibatnya,
peribadatan kepada berhala menjadi pemandangan yang sangat mencolok.
Apalagi, kesyirikan tersebut disangka masyarakat waktu itu sebagai agama
Ibrahim ‘alaihis salam. Padahal, tradisi menyembah berhala-berhala itu
kebanyakannya adalah hasil rekayasa Amr bin Luhay yang kemudian dianggap
bid’ah hasanah.
Dijelaskan
oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tentang perbuatan Amr ini: “Saya
melihat Amr bin Amir (bin Luhay) Al-Khuza’iy menyeret ususnya di
neraka. Dia yang pertama kali melukai unta (sebagai persembahan kepada
berhala dan yang pertama mengubah agama Ibrahim ‘alaihissalam)” (HR
Bukhari)
Diantara
tradisi syirik masyarakat waktu itu adalah menginap di sekitar berhala
itu, memohonnya, mencari berkah darinya karena diyakini dapat memberi
manfaat, thawaf, tunduk dan sujud kepadanya, menghidangkan sembelihan
dan sesaji kepadanya, dan lain-lain. Mereka melakukan hal itu karena
meyakini bahwa itu akan mendekatkan kepada Allah dan memberi syafaat
sebagaimana Allah kisahkan dalam Al Qur’an. Mereka mengatakan:
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az Zumar: 3)
“Dan
mereka menyembah kepada selain Allah, apa yang tidak dapat mendatangkan
kenmudharatan kepada mereka dan tidak (pula) manfaat. Dan mereka
berkata, ’Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah’”. (Yunus: 18)
Selain
kesyirikan, kebiasaan jelek yang mereka lakukan adalah perjudian dan
mengundi nasib dengan 3 anak panah. Caranya dengan menuliskan “ya”,
“tidak” dan dikosongkan pada ketiga anak panah itu. Ketika ingin
bepergian misalnya, mereka mengundinya. Jika yang keluar “ya”, mereka
pergi dan jika “tidak”, tidak jadi pergi. Jika yang kosong maka diundi
lagi.
Mereka
juga mempercayai berita-berita ahli nujum, peramal dan dukun, serta
menggantungkan nasib melalui burung-burung. Ketika ingin melekukan
sesuatu, mereka mengusir burung.
Jika terbang ke arah kanan berarti terus, jika ke arah kiri berarti
harus diurungkan. Selain itu, mereka juga pesimis dengan bulan-bulan
tertentu. Misalnya karena pesimis dengan bulan safar, mereka kemudian
merubah aturan haji sehingga tidak mengijinkan orang luar Makkah untuk
haji kecuali dengan memakai pakaian dari mereka. Jika tidak mendapatkan,
maka melakukan thawaf dengan telanjang.
Kehidupan
sosial kemasyarakatan dalam kaitannya dengan hubungan lain jenis pun
sangat rendah, khususnya di kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Sampai-sampai pada salah satu cara pernikahan mereka, seorang wanita
menancapkan bendera di depan rumah. Ini merupakan tanda untuk
mempersilahkan bagi laki-laki siapa saja yang ingin ‘mendatanginya’.
Jika sampai melahirkan, maka semua yang pernah melakukan hubungan
dikumpulkan dan diundang seorang ahli nasab untuk menentukan siapa
bapaknya, kemudian sang bapak harus menerimanya.
Poligami saat itu juga tidak terbatas,
sehingga seorang laki-laki bisa menikahi wanita sebanyak mungkin.
Bahkan sudah menjadi hal yang biasa seorang anak menikahi bekas istri
ayahnya dengan mahar semau laki-laki. Jika perempuan itu tidak mau, maka
laki-laki itu akan memaksa wanita itu untuk menikah kecuali dengan
siapa yang diizinkan olehnya. Sehingga dalam banyak hal, wanita
terdzalimi. Sampai yang tidak berdosapun merasakan kedzaliman itu, yaitu bayi-bayi wanita yang ditanam hidup-hidup karena takut miskin dan hina.
Tentunya,
kenyataan yang ada lebih dari yang tergambar di atas. Meski tidak
dipungkiri di sisi lain mereka memiliki sifat atau perilaku yang baik,
namun itu semua lebur dalam kerusakan agama, moral yang bejat, yang di
kemudian hari seluruhnya ditentang oleh Islam dengan diutusnya
Rasullallah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebagai pelita yang sangat
terang bagi umat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar